Oleh: Abdul Arif
Ini bukan tulisan latah setelah viral isu harga rokok akan naik dua kali lipat. Tulisan ini bagi yang bukan anti-rokok. Jadi kalau Anda termasuk golongan yang alergi dengan rokok dan segala hal yang terkait dengannya, sebaiknya tidak usah membaca tulisan ini. Tapi jika Anda nekat membaca, resiko ditanggung sendiri...hehe
Opini ini juga bukan untuk menarik simpati kaum pro-rokok. Mentang-mentang saya politisi lalu memuji-muji industri rokok biar para cukongnya jatuh simpati dan pada pemilihan kelak menyeponsori. Enggak! Saya juga tidak ingin menjilat para perokok.
Saya menulis karena saya ingin menulis. Titik.
Sebelum melanjutkan tulisan, ada baiknya saya jelaskan posisi saya dalam hal pe-rokok-an. Saya bukan pecandu rokok. Saya jarang sekali membeli rokok. Bukan apa-apa karena setiap kali membeli sebungkus rokok lama sekali habisnya, bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Seringkali bungkus rokok raib sebelum isinya benar-benar habis. So, mungkin saya tergolong perokok ringan: bisa menikmati rokok tapi tidak kecanduan.
Seringkali saya merokok untuk "menghormati" lawan bicara yang pecandu rokok. Tentu saya nunut merokok milik teman saya itu. Karena ada perasaan jauh lebih nyaman bagi perokok jika orang yang diajak bicara juga melakukan aktifitas yang sama (maaf perasaan seperti ini hanya bisa dipahami oleh ahlul hisab, Anda yang berada di luar itu akan sulit mengerti). Singkat kata, saya adalah perokok pasif: aktif merokok, pasif membeli...hehe
Walau bukan tergolong pecandu rokok, saya bukan pengalut madzhab anti-rokok. Memang, kadang-kadang saya dongkol dengan ulah beberapa perokok yang lebay, misal merokok di dekat bayi atau ibu mengandung. Atau saya sering jatuh simpati dengan sekumpulan ibu-ibu majelis taklim yang terbatuk-batuk karena terganggu asap rokok yang keluar dari mulut bapak-bapak peserta pengajian.
Tapi pengalaman-pengalaman itu tidak cukup kuat untuk mendorong saya masuk ke barisan anti-rokok. Mungkin karena alasan-alasan berikut ini:
ROKOK MENYUMBANG Rp. 135 Triliun PER TAHUN. Angka itu melebihi anggaran Kementrian PUPR di APBN 2017 yakni Rp. 105,6 Triliun. Artinya dana cukai rokok cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, gedung perkantoran, pemukiman, pelabuhan, bandara dan program-program andalan PUPR lainnya. Anda tahu kan, "agama" rejim yang sedang berkuasa adalah "infrastruktur". Kelak mungkin selepas pensiun Presiden Joko Widodo ingin sekali digelari "Bapak Infrastruktur Indonesia".
Dana cukai rokok malah lebih dari dua kali lipat anggaran Departemen Kesehatan yang "hanya" Rp. 58,3 triliun. Dengan kata lain, uang cukai sangat cukup untuk membiayai pembangunan rumah sakit, puskesmas, alat-alat kesehatan dan segala macam program dalam kewenangan Kementrian Kesehatan...yang gencar berkampanye anti-rokok itu.
Malah, cukai rokok juga lebih dari cukup untuk membeli alutista (alat utama sistem pertahanan) seperti meriam, pesawat tempur, tank dan perlengkapam tempur TNI lainnya yang di APBN 2017 dianggarkan sebesar 104,4 Tliliun.
Singkat kata anggaran Rp. 135 Triliun itu besar sekali. (Saya tidak ingin membandingkan dengan APBD Wonosobo yang Rp 1,6 Triliun. Kejauhan!)
Mosok saya mau anti kepada mereka yang sudah menyumbang kepada pendapatan negara sebesar itu. Enggak lah yauw.
KITA SWASEMBADA ROKOK. Faktanya rokok Indonesia berjaya di negeri sendiri. Kita menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Rokok asing memang bisa masuk ke pasar Indonesia, bahkan Philip Morris (perusahaan rokok asal Amerika Serikat) sudah mengakuisisi HM Sampoerna. Namun mayoritas pasar tetap dikuasai industri rokok asli Indonesia.
Artinya dengan volume produksi 315 miliar batang setahun, industri rokok nasional bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan dengan nilai pasar industri sebesar Rp. 224,2 triliun per tahun (data tahun 2015) rokok menjadi penyumbang cukai terbesar di negeri ini.
Hayo sebutkan industri nasional lain yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri? Sebutkan pula industri lain yang lebih dari separuh pendapatannya diberikan kepada negara?
Industri otomotif kita masih sembah sujud kepada Jepang. Puluhan ribu kendaraan bermotor tiap tahun digelontorkan dari negeri Sakura itu. Memenuhi jalan-jalan raya Indonesia. Membuat macet dan bising di mana-mana. Dan dari knalpotnya keluar asap CO (Carbon Monoksida) yang berlipat lebih berbahaya dibanding asap rokok.
Itu pun sumbangan kepada pendapatan negara masih kalah dari cukai rokok. Tahun 2015 pajak otomotif sebesar Rp. 100 Tliliun. Cukup besar memang. Tapi jangan lupa, mobil-mobil dan motor-motor itu mayoritas dibuat di Jepang. Jadi "nilai lebih" industri ini dinikmati Negeri Matahari Terbit itu. Bandingkan dengan rokok yang Tembakau dan cengkehnya ditanam dan tumbuh di Nusantara, lalu rokoknya dibuat dan diolah oleh tenaga-tenaga Indonesia. Silakan hitung sendiri berapa petani dan buruh yang bisa hidup dari industri ini.
Sebagai bangsa yang amat menggantungkan hidup dari barang-barang import: beras import, kedelai import, baju import, komputer import, belum lagi kapal, pesawat terbang, handphone, hingga garam saja kita import...keberadaan industri rokok yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri masak mau kita abaikan.
Coba bayangkan jika kita tidak punya Gudang Garam, Djarum, Wismilak, Djambu Bol, Sukun, dll bisa jadi untuk ngebul pun kita harus import.
INDUSTRI ROKOK TIDAK CENGENG. Berapa banyak industri nasional kita yang bergantung kepada bantuan pemerintah? BUMN kita modalnya dari pemerintah. Diproteksi. Diberi kemudahan-kemudahan regulasi. Tapi berapa persen dari mereka yang benar-benar bisa mandiri dan secara istikomah bisa memberi keuntungan besar bagi pendapatan negeri? PLN yang diberi hak memonopoli listrik saja masih sering rugi. Padahal tiap tahun disubsidi.
Bandingkan dengan industri rokok. Tidak ada industri rokok yang disubsidi pemerintah. Industri rokok tidak pernah membebani APBN. Belum pernah ada berita, para pemilik pabrik rokok meloby pemerintah agar diberi fasilitas pinjaman berbunga rendah. Atau merengek kepada DPR agar diberi suntikan modal.
Berita yang mengemuka justru sebaliknya: pemerintah menerbitkan regulasi yang membatasi jumlah kadar tart dan nikotin pada rokok, pembatasan iklan rokok baik di media outdoor, cetak maupun elektronik, pembatasan area bebas merokok, menggalakkan kampanye anti-rokok, menempelkan peringatan bahaya merokok di setiap bungkus rokok dengan kalimat yang dibuat lebih serem dari tahun ke tahun, dst.
Bahkan, kampanye anti-rokok itu sudah sampai pada situasi di mana seolah rokok adalah musuh publik yang sangat berbahaya. Dan sedikit sekali yang paham bahwa di balik semua itu ada kepentingan dagang yang jauh lebih berbahaya. Di sini saya tidak ingin menulis konspirasi dagang di balik kampanye besar anti-rokok karena itu sudah dengan baik sekali ditulis oleh Kang Mohamad Sobary dalam esai IDEOLOGI DI BALIK ROKOKKU.
Yang ingin saya katakan adalah walau tidak mendapat subsidi, walau tidak diberi kemudahan regulasi, walau dihimpit dengan larangan di sana-sini, walau dengan kampanye anti-rokok yang ngegirisi, industri ini masih tegak berdiri, masih sanggup menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan terus setia menyumbangkan pendapatan besar bagi negeri ini.(*)
0 Menurut Anda:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung, silahkan berkomentar dengan sopan, semoga bermanfaat